Rabu, 25 Maret 2009

TRANSPARANSI LEGISLATIF

Komunikasi Politik sebagai pesan-pesan politik, selain itu Media massa berperan pula dalam pembentukan pendapat umum Informasi dari Rakyat kepada Pemerintah (khususnya kepada Legislatif) Dan sebaliknya yang harus berlangsung dalam proses Komunikasi Politik itulah yang melahirkan adanya tanggung jawab publik (responsibility publik) bagi anggota kelembagaan legislatif, dan darisanalah kepada mereka dituntut untuk melakukan pertanggung jawaban publik (akuntabilitas publik) kepada Rakyat ini dimaksudkan agar seluruh informasi yang menjadi landasan suatu kebijaksanaan dan malah menjadi isi dari suatu kebijaksanaan haruslah benar-benar untuk kepentingan publik. (Prof.DR.Anwar Arifin)

Proses distribusi kekuasaan secara horizontal menunjukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Lembaga Legislatif memegang kekuasaan membentuk Undang-undang pada tingkat Pemerintahan nasional/ Negara dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi atau Kab/Kota memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah.

Anggota Legislatif merupakan wakil-wakil rakyat yang direkrut dari masing-masing partai politik yang ditetapkan menjadi peserta pemilihan umum dimana proses rekruitmen ini bertujuan untuk menjaring calon anggota legislatif untuk selanjutnya tampil menjadi wakil-wakil rakyat yang memiliki komitmen keberpihakan kepada rakyat sebagai konstituen yang memberi mandat melalui proses Pemilihan umum, sehingga pada intinya anggota legislatif yang menduduki kursi pada parlemen rakyat, dituntut untuk memiliki kepekaan sosial dan komitmen untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. bukan malah memperjuangkan sekelompok orang atau bahkan kepentingannya.

Kebijakan publik adalah suatu pernyataan kehendak yang berkaitan dengan kepentingan umum dalam perwujudannya dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku pada setiap penyelenggaraan pemerintahan, oleh karena itu secara fungsional adalah menjadi kewenangan kelembagaan legislatif yang disebut sebagai fungsi pembuatan kebijaksanaan.( Dr.Faried Ali,SH,MS )

Kelembagaan Legislatif sebagai kelembagaan perwakilan kepentingan rakyat, pada hakekatnya dalam perumusan kebijakan publik yang mengacu pada kehendak dan aspirasi rakyat ( Inpra struktur politik ) untuk itu baik proses maupun isi rumusan harus dilakukan secara terbuka melalui tata tertib kelembagaan dewan yang ada apalagi keterbukaan atau transparansi itu adalah merupakan indikator yang harus diwujudkan dalam proses demokratisasi. Dalam proses inilah diperlukan sosialisasi draf rancangan kebijakan (rancangan perda) yang hendak dilegislasi oleh lembaga legislatif termasuk uji publik atas rencana kebijakan tersebut. ini sangat penting dilakukan untuk menerima masukan secara lisan atau tertulis dari masyarakat dalam kaitannya penyiapan dan pembahasan rancangan kebijakan yang hendak dilakukan oleh Legislatif.

Dasarnya adalah “ Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda” (Pasal 139 UU 32 Thn 2004). Olehnya itu proses transparansi kebijakan publik ini berlangsung dengan mekanisme yang transparan. Dengan terpenuhinya semua syarat normatif maka akan membawa suatu kebijakan publik yang diperlukan dalam bentuk perundang-undangan yang dapat diperlakukan dan keberadaannya secara normatif masyarakat menerimannya tanpa sebuah perlawanan ‘resistensi kebiajkan’ yang melahirkan aksi protes (Unjuk Rasa).* *

Rabu, 18 Maret 2009

PEMILIH CERDAS


Oleh : Soenandar Latief

Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, apakah itu ditingkat nasional maupun daerah, dan perwakilan daerah. Proses pemilu sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, diharapkan dapat lahir sebuah harapan dimana salah satunya adalah sebuah perwujudan demokrasi substansial yang hakikatnya adalah terjadinya sebuah kesepadanan proses politik dengan aspirasi publik yang berkembang di kalangan rakyat, dalam arti bahwa demokrasi bukan sekedar pemenuhan syarat-syarat kelembagaan yang bersifat formal. Tetapi mari kita memahami substansi kelembagaan, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah yang sesungguhnya.

Pemilu langsung dapat juga dimaknai, bahwa rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai kehendak dan pilihannya tanpa harus melalui perantara, atau melalui cara-cara tekanan dan paksaan dari siapa pun dalam memberikan hak pilihnya. Untuk itu diharapkan kepada semua anak bangsa agar saling memahami proses pemilu itu sebagai sebuah proses yang mengedepankan ketaatan pada aturan main penyelenggaraan dan pelaksanaan dalam arti bagaimana pemilu 2009 ini dapat lebih berkualitas dari pemilu 2004 termasuk calon anggota legislatif (caleg).

Oleh karena itu ‘pemilih cerdas’ dalam memaknai kelembagaan perwakilan hasil pemilu 2009 kedepana tentu hasilnya adalah betul-betul hasil pilihan rakyat ‘Suara Terbanyak’ , maka paling tidak ada harapan baru dibenak rakyat atau paling tidak ada impian bahwa wakil rakyat hasil pemilu 2009 adalah representasi kedaulatan rakyat yang ‘Orginal’ sehingga boleh jadi perbaikan nasib rakyat pada pemilu 2009 ini dapat terwujud. Atau malah jadi bertambah susah dan menyengsarahkan ? Jawabannya tentu baru kita bisa ketahui pada saat siapa yang berhasil menduduki kursi panas di parlemen itu.

Pemilih cerdas adalah pemilih yang tepat mengunakan hak pilihnya, pemilih cerdas dalam menjatuhkan pilihan harus terbebas pada pertimbangan kekeluargaan, kekerabatan atau pertimbangan pragmatis apalagi ‘money politics’ anda salah dalam menentukan pilihan atau anda menentukan pilihan yang sesat, maka keputusan anda dalam beberapa detik didalam bilik suara akan membawa konsekuensi buruk terhadap bangsa dan daerah selama lima tahun kedepan, sehingga anda harus bertanggungjawab atas kehancuran bangsa ini kedepan. Pemilu tanggal 9 April 2009 adalah ujian bagi perwujudan demokrasi substansial**






Minggu, 15 Maret 2009

PENGAWASAN MASYARAKAT

OLEH : Soenandar Latief


Masyarakat berhak mengambil peran dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan negara dan daerah yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Peran dapat dalam bentuk melakukan pengawasan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Negara dan daerah baik secara perorangan maupun kelompok dan organisasi masyarakat. Hak masyarakat yang dimaksud adalah Pengawasan Masyarakat’ dimana dapat di implementasikan secara langsung atau tidak langsung baik lisan maupun tulisan.

Pengawasan masyarakat dilakukan melalui: Pemberian Informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Penyelenggara Negara dan Penyelenggaraan pemerintahan di Daerah (Pemda dan DPRD). Pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk penyampaian pendapat dan saran perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun refresif atas masalah dan temuan yang disampaikan. kepada pejabat yang berwenang atau instansi yang terkait .

Dalam proses pengawasan yang dilaporkan, ada hak masyarakat untuk memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang .dan kepada pejabat yang berwenang atau instansi yang terkait yang menolak pengawasan dan tidak melaksanakan tindak lanjut hasil pelaksanaan pengawasan. Dapat dikenakan sanksi.

Peran pengawasan masyarakat merupakan hak yang tidak dapat dihalangi untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi serta memperoleh pelayanan yang sama dan adil, termasuk hak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan haknya, atas dasar inilah sehingga masyarakat yang melakukan pengawasan berhak menanyakan kepada instansi atau lembaga terkait atas dugaan terjadinya pelanggaran terhapadap proses penyelenggaraan pemerintahan Negara dan daerah.**

Minggu, 08 Maret 2009

PEMERINTAHAN DEMOKRATIS YANG KORUP

Oleh : Soenandar Latief

Penyelenggaraan Pemerintahan yang demokratis, dapat dievaluasi pada proses pelaksanaan pemerintahan yang menjunjung asas kepastian hukum, keterbukaan, partisipatif, akuntabilitas, kepentingan umum, profesionalisme, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban. pemenuhan kegiatan perekonomian, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai serta pelayanan publik lainnya.

Apabila hal-hal yang dimaksud tidak dipenuhi, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk melihat kesungguhan pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan layanan pemerintahan. Ketidak jelasan dan ketidaktransparanan proses pengambilan keputusan misalnya, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan mereka selalu diprioritaskan oleh pemerintah.

Keberadaan lembaga penyelenggara negara (eksekutif dan legislatif) hasil pilihan langsung oleh rakyat diharapkan akan mendudukan checks and balances (saling kontrol dalam keseimbangan) antara lembaga penyelenggara negara dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian harapan akan praktik demokrasi substansial dapat terwujud dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara menggantikan demokrasi prosedural ini artinya, masing-masing lembaga dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang dan bukan sekedar berfungsi pemerintahan “onani” atau lembaga yang menikmati dirinya sendiri.

Pemerintahan hasil pemilu langsung pilihan rakyat sudah berjalan dan banyak hal yang dijanjikan tidak mampu dilakukan, timbul kegalauan dikalangan sebagian rakyat apakah demokrasi dapat memberi jaminan yang pasti terhadap percepatan perwujudan kesejahteraan rakyat, Ketika kondisi negara didera berbagai masalah pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi semakin terpuruk, telah membuat sebagian rakyat rindu kepada situasi dan kondisi seperti pada masa kekuasaan resim orde baru. Dimana waktu itu pemerintah memberikan subsidi berbagai harga kebutuhan pokok, Rakyat tidak banyak tahu bahwa segala macam subsidi tersebut dibiayai dengan utang dan kekayaan negara di gerogoti oleh para koruptor yang bersifat akut dan menahun diseluruh lini pemerintahan mulai dari pusat sampai pada daerah, dari jajaran tinggi sampai pada jajaran paling rendah sekalipun.

Kini ketika pemerintahan hasil pilihan rakyat secara langsung telah terbentuk, kondisi kesejahteraan rakyat juga terus memburuk dan korupsi juga kian merajalela hingga ketingkat daerah sehingga dana-dana negara yang ada di APBD yang sepatutnya digunakan untuk pelayanan publik dibidang pelayanan pasilitas publik seperti pembiayaan Pendidikan, Kesehatan dan prasarana umum justru terkuras ke pelayanan eksekutif dan legislative (pembiayaan Fasilitas dan perjalanan dinas) yang tidak mempertimbangkan asas efesiensi dan kepatutan.

Situasi dan kondisi demikian telah membuat sebagian rakyat kembali bertanya, apakah kita masih perlu demokrasi. Apakah tidak lebih baik bila diperintah oleh benevolent dictatorship (Kediktatoran yang baik hati) yang membuat rakyat sejahtera, dari pada pemerintahan demokratis tetapi tidak membawa kemakmuran dan kesejahteraan.

Pertanyaan demikian seharusnya tidak perlu terjadi bila mereka tahu diri bahwa pemerintahan itu adalah milik rakyat dan mereka hanya secara kebetulan mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan mandat penyelenggaraan Negara dan pemerintahan, sehingga mereka yang menerima mandat berkewajiban memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawah serta melayani rakyat dengan sepenuh hati serta menghormati hukum dan menjungjung tinggi keadilan.**

Sabtu, 07 Maret 2009

PERAN DPRD DALAM LEGISLASI


Oleh : Soenandar Latief

Kolumnis dan Aktivis LSM di Tana Luwu

Perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan. Dalam perumusan ranperda, DPRD dan Pemda diharuskan memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada lingkup daerah, antar daerah atau tingkat nasional, kemampuan perda dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan akan menentukan tingkat kepatuhan berbagai pelaku terkait. partisipasi dan ketercakupan dari berbagai pelaku tata pemerintahan dalam proses penyusunan perda menentukan tingkat kelancaran pelaksanaannya. (demikian dikutif dari tulisan Agung Djojosoekarto Program Manager UNDP dan Riant Nugroho Technical Advicer ADEKSI).

Dari makna kutipan tulisan Agung dan Riant, Kita berharap kepada lembaga legislatif ada lahir nuansa perubahan yang lebih dari legislatif sebelumnya khususnya pada proses lahirnya usulan prakarsa rancangan pembuatan ranperda dengan harapan DPRD Juga diminta memposisikan diri sebagai lembaga pembuat dan pembentuk ranperda. Dan peluang pembuatan ranperda dari legislatif justru sangat berpeluang untuk dibahas bersama eksekutif pada rapat pembahasan mengingat dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 140 ayat 2 sangat jelas dimana dikatakan bahwa dalam satu masa sidang, DPRD dan atau Bupati/ Wali Kota menyampaikan ranperda dengan materi yang sama maka yang dibahas adalah ranperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan ranperda yang disampaikan Bupati/Wali Kota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

DPRD sebagai lembaga pembuat perda bukan hanya menjadi lembaga yang melakukan pembahasan dan menyetujui ranperda yang disampaikan eksekutif, melainkan memiliki kewenangan untuk membuat ranperda. Untuk itu posisi kewenangan yang sama kuatnya maka tidak ada alasan pihak eksekutif untuk dapat menghalangi “bersitegang” dengan pihak legislatif untuk merubah, menambah, mengurangi, atau membongkar lalu mendesain ulang ranperda yang disampaikan ke legislatif selama proses-proses itu legal dalam arti sejalan dengan proses legislasi dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih diatas.

Olehnya itu sebelum proses pembuatan perda dilakukan ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan seperti, bagaimana legislatif mentaati ketentuan-ketentuan dalam tata tertib DPRD.sebab, tata tertib itu perlu dihargai sebagai sebuah komitmen yang dipandang sebagai alat untuk mengatur proses internal. Ia harus dimaknai sebagai aturan dasar yang dapat menjadikan proses legislasi itu bebas dari kepentingan tertentu tapi harus dimaknai bahwa kepentingan itu ada pada posisi instrument-instrument kemaslahatan bersama “kepentingan masyarakat luas”.

Merujuk pada posisi kewenangan yang sama, maka yang terpenting dilakukan legislatif adalah menghindari pembuatan dan pembahasan perda langsung masuk pada pembahasan pasal-pasal secara marathon bahkan sangat disayangkan memperdebatkan hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan misalnya persoalan pengertian pada ketentuan umum dan koreksi tentang tata bahasa hal-hal seperti ini bukan yang diharapkan untuk melahirkan sebuah perda yang memenuhi harapan masyarakat.

Namun yang digugat selama ini adalah upaya untuk memahami ranperda tersebut dengan berangkat pada persoalan memahami konteks dan substansi tentang suatu hal yang akan diatur dalam perda dan ada kesan ranperda itu disampaikan ke legislatif karena ada potensi pungutan untuk ditarik retribusi sehingga perda tersebut dibahas secara marathon lalu disahkan kemudian dilembar daerahkan selanjutnya diberlakukan. Tapi kita tidak pernah berpikir bahwa cara-cara seperti ini cenderung melahirkan potensi untuk menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya ditengah masyarakat.

Anggota DPRD harus secara sadar memahami peran kelembagaan yang melekat pada dirinya, untuk mau melakukan sebuah usulan prakarsa rancangan pembuatan sebuah ranperda yang dimulai dari draft akademis sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk berangkat memahami sebuah substansi masalah mengapa sebuah peraturan daerah harus lahir dan apa tujuan dan sasarannya semua itu harus jelas sehingga perda yang disahkan tidak menghadapi banyak masalah dan pelaksanaannya menjadi efektif dan dapat dijalankan. ***