Rabu, 21 Juli 2010

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Setiap Informasi Publik Harus Dapat Diakses

Oleh : Soenandar Latief

Setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.(UUD 1945 Pasal 28F) atas dasar konstitusi tersebut Negara memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi dan dijabarkan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008.

Salah satu wujud penyelenggaraan Negara yang terbuka adalah di implemetasikannya “keterbukaan informasi publik” melalui penggunaan hak publik untuk memperoleh informasi yang berdasar dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi menjadi sangat penting dalam upaya menjadikan proses keterbukaan penyelenggara Negara untuk terbuka kepada publik sehingga apa yang dilakukan oleh penyelenggara atas kerja-kerja penyelenggaraan Negara dapat diterima dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Dengan demikian relevansi antara Hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan Hak peranserta masyarakat dalam pelibatan proses pengambilan keputusan publik tidak bermakna dan tanpa arti jika jaminan keterbukaan informasi publik terjadi distorsi. Sehingg a kedua penggunaan hak ini harus senangtiasa berjalan seiring guna peningkatan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika kita melihat pada ketentuan penutup pada pasal 64 ayat (1) maka sejak tanggal 30 April 2010. Undang-undang ini sudah mulai berlaku. Dan inilah mungkin salah satu alas an dilaksanakannya proses pendaftaran rekruitmen calon anggota Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Selatan yang sudah dimulai sejak tanggal 1 Juli 2010, karena salah satu ketentuan dalam UU KIP ini adalah Pembentukan Komisi Informasi Publik di Provinsi dan Kab/Kota sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Keterbukaan Informasi Publik menjadi sangat berarti ketika keberadaan Komisi Informasi Publik ini terbentuk dan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara benar dan objektif karena KIP dibentuk oleh Undang-Undang untuk mendorong terwujudnya transparansi publik serta terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih. Dan keberadaan lembaga KIP harus menjadi lembaga yang dapat mendorong terciptannya transparansi pengelolaan pemerintahan khususnya di daerah. Dan khususnya keberadaan KIP di daerah pasca pembentukan lembaga yang independen tersebut paling mendesak untuk dilakukan adalah memperjuangkan keterbukaan informasi publik, utamanya “informasi pengelolaan anggaran APBD” oleh pejabat publik di Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam hal ini eksekutif dan legislatif. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan tetapi menjadi kewajiban untuk segera dilaksanakan oleh lembaga yang berkewenangan menegakkan keterbukaan informasi publik tersebut. Dan tidak ada alasan untuk tidak membuka informasi pengelolaan anggaran tersebut. Karena penggunaan uang rakyat sedapat mungkin terbuka dan diketahui oleh publik. Namun demikian proses-proses keterbukaan informasi tersebut ada batasan-batasan yang digariskan dalam undang-undang Keterbukaan Informasi Publik tersebut dimana klasifikasi informasi itu diatur karena ada juga informasi yang tidak serta merta dapat dibuka ke publik. Ini penting disosialisasikan oleh pemerintah kepada publik guna menghindari persepsi yang beragam pasca pemberlakuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Kita berharap dengan berlakunya Undang-undang KIP ini semakin membuka akses publik terhadap informasi khususnya di Daerah. Dengan harapan kita semua agar badan publik termotivasi untuk bertanggungjawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya, dan hal ini juga dapat mempercepat proses terwujudnya pemerintahan yang transparan guna mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk menuju kepemerintahan yang baik “Good Governance”.

Senin, 19 Juli 2010

FUNGSI LEGISLASI DPRD

PERAN LEGISLATIF DALAM LEGISLASI

Oleh : Soenandar Latief

Perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan. Dalam perumusan ranperda, DPRD dan Pemda diharuskan memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada lingkup daerah, antar daerah atau tingkat nasional, kemampuan perda dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan akan menentukan tingkat kepatuhan berbagai pelaku terkait. partisipasi dan ketercakupan dari berbagai pelaku tata pemerintahan dalam proses penyusunan perda menentukan tingkat kelancaran pelaksanaannya. (demikian dikutif dari tulisan Agung Djojosoekarto Program Manager UNDP dan Riant Nugroho Technical Advicer ADEKSI).

Dari makna kutipan tulisan Agung dan Riant, Kita berharap kepada lembaga legislatif ada lahir nuansa perubahan yang lebih dari legislatif sebelumnya khususnya pada proses lahirnya usulan prakarsa rancangan pembuatan ranperda dengan harapan DPRD Juga diminta memposisikan diri sebagai lembaga pembuat dan pembentuk ranperda. Dan peluang pembuatan ranperda dari legislatif justru sangat berpeluang untuk dibahas bersama eksekutif pada rapat pembahasan mengingat dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 140 ayat 2 sangat jelas dimana dikatakan bahwa dalam satu masa sidang, DPRD dan atau Bupati/ Wali Kota menyampaikan ranperda dengan materi yang sama maka yang dibahas adalah ranperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan ranperda yang disampaikan Bupati/Wali Kota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

DPRD sebagai lembaga pembuat perda bukan hanya menjadi lembaga yang melakukan pembahasan dan menyetujui ranperda yang disampaikan eksekutif, melainkan memiliki kewenangan untuk membuat ranperda. Untuk itu posisi kewenangan yang sama kuatnya maka tidak ada alasan pihak eksekutif untuk dapat menghalangi “bersitegang” dengan pihak legislatif untuk merubah, menambah, mengurangi, atau membongkar lalu mendesain ulang ranperda yang disampaikan ke legislatif selama proses-proses itu legal dalam arti sejalan dengan proses legislasi dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih diatas.

Olehnya itu sebelum proses pembuatan perda dilakukan ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan seperti, bagaimana legislatif mentaati ketentuan-ketentuan dalam tata tertib DPRD.sebab, tata tertib itu perlu dihargai sebagai sebuah komitmen yang dipandang sebagai alat untuk mengatur proses internal. Ia harus dimaknai sebagai aturan dasar yang dapat menjadikan proses legislasi itu bebas dari kepentingan tertentu tapi harus dimaknai bahwa kepentingan itu ada pada posisi instrument-instrument kemaslahatan bersama “kepentingan masyarakat luas”.

Merujuk pada posisi kewenangan yang sama, maka yang terpenting dilakukan legislatif adalah menghindari pembuatan dan pembahasan perda langsung masuk pada pembahasan pasal-pasal secara marathon bahkan sangat disayangkan memperdebatkan hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan misalnya persoalan pengertian pada ketentuan umum dan koreksi tentang tata bahasa hal-hal seperti ini bukan yang diharapkan untuk melahirkan sebuah perda yang memenuhi harapan masyarakat,

Namun yang digugat selama ini adalah upaya untuk memahami ranperda tersebut dengan berangkat pada persoalan memahami konteks dan substansi tentang suatu hal yang akan diatur dalam perda dan ada kesan ranperda itu disampaikan ke legislatif karena ada potensi pungutan untuk ditarik retribusi sehingga perda tersebut dibahas secara marathon lalu disahkan kemudian dilembar daerahkan selanjutnya diberlakukan. Tapi kita tidak pernah berpikir bahwa cara-cara seperti ini cenderung melahirkan potensi untuk menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya ditengah masyarakat.

Anggota DPRD harus secara sadar memahami peran kelembagaan yang melekat pada dirinya, untuk mau melakukan sebuah usulan prakarsa rancangan pembuatan sebuah ranperda yang dimulai dari draft akademis sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk berangkat memahami sebuah substansi masalah mengapa sebuah peraturan daerah harus lahir dan apa tujuan dan sasarannya semua itu harus jelas sehingga perda yang disahkan tidak menghadapi banyak masalah dan pelaksanaannya menjadi efektif dan dapat dijalankan. ***

PENGAWASAN FORMAL

LEMAHNYA PENGAWASAN FORMAL DIDAERAH

Dalam Konteks Penyelenggaraan Negara

Yang Bersih dan Bebas dari KKN



OLEH : SOENANDAR LATIEF



Memaknai pengertian Pengawasan dalam arti luas, berarti mencakup aspek pengendalian, pemeriksaan dan penilaian atas sesuatu operasi atau kegiatan dengan tujuan untuk mewujudkan ketaatan pada peraturan perundang-undangan untuk mencapai daya guna dan hasil guna secara optimal. Sedangkan tujuan pengawasan adalah untuk mencegah berbagai bentuk tindakan yang merugikan negara dan memperbaiki kesalahan yang terjadi.

Pengawasan menyeluruh dan terpadu meliputi keseluruhan system dan pengawasan seperti ini dilaksanakan secara nasional, baik yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah maupun oleh aparat pengawasan ekstern pemerintah. Sehingga dari segi hubungan subyek dan obyek pengawasan, maka pengawasan dapat dikategorikan dalam 2 model antara lain :


STRUKTUR PENGAWASAN

Pengawasan Eksteren, dapat kita pahami bahwa pengawasan dari luar (pengawasan eksteren) tentu pengawasannya (subyek) dari luar struktur organisasi (obyek) yang diawasi.contohnya : Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK-RI) lembaga ini merupakan perangkat pengawasan eksteren terhadap pemerintah, dan tidak mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada presiden melainkan hasil pemeriksaan dan temuan BPK-RI tersebut disampaikan kepada DPR-RI/DPRD.


Pengawasan Interen, dapat juga dipahami sebagai bentuk pengawasan yang dilakukan dari dalam struktur organisasi. Dalam struktur organisasi pemerintahan RI, pelaksanaan pengawasan interen tersebut merupakan tugas dan fungsi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal yang ada pada setiap departemen atau unit pengawasan interen bagi non departemen seperti BUMN atau BUMD, sedangkan pada tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota pengawasan interen tersebut merupakan tugas Badan Pengawasan Daerah (Bawasda).


Dari kedua pengertian Pengawasan tersebut, juga dikenal adanya pengawasan Formal dan Informal. Pengawasan formal tersebut dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang, yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengawasan informal ialah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Dan pengawasan informal ini biasa disebut dengan “social control”. Contoh-contoh pengawasan informal adalah pengawasan melalui surat-surat pengaduan masyarakat, media massa dan kelembagaan masyarakat.

Dalam komitmen penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional dan daerah sebagaimana tuntutan agenda reformasi yang mengharuskan seluruh penyelenggara pemerintahan dan masyarakat menghendaki terwujudnya penyelenggara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya untuk dilaksanakan secara efektif, efesien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana yang diamanatkan oleh TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Komitmen penyelenggara pemerintahan khususnya pada struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Luwu dalam pelaksanaan agenda reformasi yang diamanatkan oleh TAP MPR tersebut belum menunjukkan keseriusan terlebih pada sikap tindakan atas diri pejabat yang bertanggung jawab dari hasil temuan pemeriksaan, sebagai tindakan dalam menindak lanjuti temuan tersebut.

Bukti ketidak seriusan menunjukkan komitmen penyelengaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN ini, terlihat dari bocoran sebuah sumber dari Lembaga Negara, dimana diperoleh keterangan berupa sumber data yang menunjukkan bahwa masaalah yang dijumpai dalam kegiatan pemeriksaan yang dibahas dalam pertemuan pembahasan tindak lanjut terakhir yang dilaksanakan pada tanggal 29 April 2003 posisi terakhir penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan pada Kabupaten Luwu adalah rata-rata 7,40 %. angka ini memberikan gambaran sebuah peningkatan dari angka 0 % sebelumnya.


Pada hal jika kita melihat angka-angka dan prosentase pada bocoran sebuh sumber dimaksud : dimana objek-objek pemeriksaan antara lain, Pendapatan Kabupaten Luwu menunjukkan temuan (5) , dan objek Pertanggung jawaban APBD Luwu temuan (17), serta objek pemeriksaan pada belanja pembangunan Kabupaten Luwu juga ada temuan sebanyak ( 2 ). Dari ketiga objek pemeriksaan ini maka terlihat prosentase tindak lanjut tergambar pada objek pemeriksaan adalah 22,22% untuk Pendapatan Kabupaten Luwu, 0,00 %, untuk pertanggung jawaban APBD Kabupaten Luwu dan 0,00%. Untuk obyek Pemeriksaan Belanja Pembangunan. Sehingga jika dirata-ratakan dari ketiga obyek pemeriksaan tersebut maka penyelesaian tindak lanjut dari hasil temuan mengalami peningkatan dari 0 % menjadi 7,40 %. Dari angka tersebut menunjukkan bahwa komitmen dan semangat untuk menindak lanjuti hasil pemeriksaan di Kabupaten Luwu dinilai sangat rendah karena hal ini tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan sebagai mana yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal 23 E, Inpres No.5 Tahun 1983 Pasal 16 dan Inpres No.1 Tahun 1989.


Dari Kalkulasi angka-angka hasil temuan pemeriksaan tersebut diatas, sudah dapat dijadikan parameter sementara untuk memberikan gambaran bahwa tingkat pengawasan Formal yang dilakukan oleh Bupati Luwu selaku Pejabat dalam lingkup Pemerintahan Daerah beserta para pimpinan Instansi yang ada dibawahnya sangat tidak berjalan baik, terlebih lagi kepada Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) selaku lembaga yang memiliki peran Pengawasan Interen yang ada didaerah.

Dari fungsi-fungsi pengawasan yang ada didaerah ini, kesemuanya itu menimbulkan sebuah kerancauan struktural, pertanyaannya, apakah memang efektifnya sebuah pengawasan, jika yang akan diawasi tersebut adalah sebuah kelembagaan struktural yang ada dibawah lembaga pengawasan, misalnya BAWASDA secara struktural itu dibawah kekuasaan Bupati/Wali Kota pada tingkat Kabupaten/Kota. Sehingga hasil-hasil temuan tersebut sangat jarang muncul kepermukaan publik, termasuk pada lembaga-lembaga legislatif atau DPRD, dan hal ini terbukti ketika Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Luwu DPRD selalu mengatakan bagus alias diterima paling naif lagi seorang anggota dewan di Luwu berkomentar mengakui kalau Rapor Bupati Luwu sampai hari ini masih bagus.

Dari Data temuan pemeriksaan tersebut diatas, memberikan gambaran terhadap DPRD Luwu selama ini bahwa pihak Wakil Rakyat diindikasikan terjadi perselingkuhan dengan pihak eksekutif dan penghianatan kepada Rakyat yang memberikan mandat, namun pengungkapan hal ini sudah cukup memberikan renungan dan Intropeksi diri terhadap Bupati dan Anggota DPRD serta menjadi pembelajaran Politik pada Rakyat itu sendiri dalam menyongsong Pemilu 2004 agar bersikap hati-hati dalam menentukan pilihan untuk wakil-wakilnya yang akan duduk di Kursi empuk.